direktur Cagar EDY TOYIBI (Alm)


ETC Tuban -Mendiang Direktur Cagar EDY TOYIBI Tokoh aktivis lingkungan, pendiri Organisasi Pencinta  Alam (OPA) di 4 (empat) kampus di-Kabupaten Tuban dan SISPALA.

Ungkapku...........

ketika banyak orang terhanyut karena uang, kau selalu gigih berjuang.
ketika pilihan utama adalah kemapanan, kau lebih mememilih kesederhanaan.
pada saat kata yang dapat terucap hanya "Diamkan", kau berteriak "Lawan".
pada saat yang dikedepankan pramagtisme, kau lebih menjunjung idealisme.

saat ini kau telah berpulang, nyanyian alam akan terus berkumandang.
kau meninggalkan jejak kebenaran, lawanmu akan menjadi segan.
selamat jalan pejuang lingkungan, selamat jalan sahabat/guru.
cita-citamu tentang kelestarian lingkungan semoga dapat diwujudkan, dilanjutkan GENERASImu.....(AT).

Gus At & Edy Toyibi (Alm)

Aktivis dan Journalist

Akses Jalan PLTU Terjang Situs Kadipaten Tertua di Tuban

Alkisah pada waktu itu kerajaan pajajaran yang dipimpin Prabu Bandjarasari yang berpusat di dekat Ciamis Jawa Barat mempunyai putra Raden Arya Mentahun. Raden Arya Mentahun mempunyai anak bernama Raden Arya Randu Kuning, putra mahkota tersebut mengembara kearah timur hingga sampailah di kawasan utara gunung Kalak Wilis Bogang Jenu, sesampai ditempat itu lalu melalukan babat hutan untuk mendirikan Negara dan berkeinginan menjadi Bupatinya.
Hutan tersebut yang terletak dekat dengan pantai di kenal dengan nama Hutan Srikandi yang masih hutan belantara dan berkat kerja kerasnya lama-kelamaan menjadi perkampungan yang diberi nama Kabupaten Lumadjang Tengah, dengan Bupatinya Raden Arya Randu Kuning bergelar Kjai Gede Lebe Lontang pada abad ke 12 M. Kjai Lebe Lontang atau Raden Arya Randu kuning membawa rakyat kabupaten yang dipimpinya menjadi sejahtera, makmur dan sejahtera dengan melakukan semedi guna menambah kesaktianya di tapaan Kalak Wilis sebelah selatan Bogang, yang saat ini dipenuhi berbagai tumbuhan berumur ribuan tahun dan masih terjaga, serta bekas tapaan yang dibangun pendopo kecil yang sering dikunjungi para peziarah saat ini.
Dari catatan sejarah buku 700 tahun Tuban karangan R. Soeparmo, Raden Arya Randu Kuning memimpin Kabupaten Lumadjang tengah selama 22 tahun. Kjai gede lebe lontang mempunyai putra Raden Aryo Bangah yang mendirikan Kabupaten di Gumenggeng (sekarang Desa Gumeng Kecamatan Rengel) dan Raden Aryo bangah mempunyai putra Raden Aryo Dandang Miring membuka hutan Papringan (Desa Perunggahan Semanding), 3 abad kemudian Papringan menjadi pusat kota Tuban mengambil istilah metu banyune = Tuban yang dipimpin Raden Aryo Dandang Watjono sebagai cikal bakal Kabupaten Tuban hingga saat ini, meski mengalami beberapa kali perpindahan pusat pemerintahan.
Satu deret dengan Kabupaten Lumadjang Tengaha didapati banyak petilasan yang ada kaitanya antara lain, bukit Minak Koncar, sendang Kaputren dan tapaan gunung Kalak Wilis. Bukit Minak Koncar berupa punggungan batuan kapur terletak di barat situs tapak Kabupaten dan sekarang berada persis di utara kampung dan sudah carut marut banyak cekungan akibat galian, hanya menyisakan satu dua bongkahan batu besar.
Di selatanya dari bekas Minak Koncar tepatnya di selatan jalan Daendels terdapat telaga yang dipenuhi
tumbuhan teratai dengan diameter 50 – 100m yang oleh masyarakat sekitar masih dianggap keramat dan sering dilakukan manganan/sedekah bumi setahun sekali. Bergerak keselatan mendaki hamparan bukit ditumbuhi pohon – pohon tua , dari randu alas, tenggulun, dan didominasi oleh pohon asem. Dari tempat tersebut dapat memandang luas ke sekeliling dengan jelas antara lain laut utara dan lembah Kecamatan Kerek – Montong yang saat ini terlihat hamparan tambang komplek pabrik semen.
Tepat berada di puncaknya/top hill terdapat petilasan/cungkup yang dipercaya sebagai tempat semedi Raden Aryo Randu Kuning untuk memohon pada sang pencipta demi kemakmuran rakyatnya. ”Di Kalak Wilis juga sering muncul macan putih dan kuda juga kijang secara ghoib, terutama saat senja “ terang Mbah Irfan juru kunci kalak wilis umur 70 tahun.
Lokasi situs Kabupaten Lumadjang Tengah di utara Dusun Bogang memanjang dari timur ke barat sekitar kurang lebih 3 kilometer persegi, berada di perbatasan desa Wadung dan Kaliuntu, hamparan lokasi tersebut sekarang dibelah oleh akses jalan menuju PLTU Jenu dan jalan daendels tepatnya di Dusun Bogang, yang menguatkan tempat itu tempat sejarah purbakala diantaranya banyak ditemukan artefak keramik kuno, uang logam tiga jenis dan perhiasan emas kerajaan oleh penduduk yang tak utuh lagi, akibat terkena alat pembajak pertanian, yang diduga perabotan peninggalan Kabupaten Lumadjang Tengah. ”Banyak ditemui pecahan keramik apalagi disaat masyarakat menggarap ladang dan sawah, namun sudah tidak utuh lagi mas, kena cangkul dan traktor”, ujar Musa 25 tahun warga sekitar yang mengantar wartawan sosialnews ke lokasi.
“Tak hanya itu, ditemui juga pecahan uang kuno 3 macam dan tidak sedikit perhiasan emas seperti kerajaan, namun oleh penduduk sering dijual bagi yang berkeinginan,“ papar pemuda yang juga lulusan perguruan tinggi di Tuban.
Secara terpisah Sunaryo yang membidani seni budaya dan periwisita saat dikonfirmasi via telepon mengatakan “Saya malah belum tahu mas,“ jawabanya singkat di balik telepon setengah gugup.
Kepala Dinas Pendidikan dan Olahraga Sutrirno, saat dikonfirmasi wartawan sosialnews mengatakan, “Saya akan melakukan investigasi di lapangan, dan urusan saya lebih banyak pada pendidikan,“ ujarnya. Namun demikian peryataan Sutrisno tersebut sebagian kontradiktif karena sekarang UPTD museum Kambang Putih yang mengurusi benda peninggalan budaya di bawah kepemimpinanya. “Tentang wilayah yang diduga peninggalan budaya dan dijadikan jalan utama PLTU, saya nggak ikut-ikut urusan ANDAL, itu wilayah BLH mas,“ ungkap pejabat yang lama memimpin DIKPORA tersebut.
Lingkungan
Dalam dokumen ANDAL PLTU Jenu potensi kebudayaan lokal yang mengandung sejarah tinggi tersebut tidak termaktup didalamnya, alih-alih dibahas oleh pemrakasra dan pembuatnya yang di bahas secara ilmiah disebut aja tidak. “Jika dari petunjuk temuan lapangan sementara ini sangat ironis dan kecerobohan karena dalam penyusunan dokumen ANDAL dapat mencari informasi pada beberapa data sekunder tentang itu (700 tahun tuban), mudah didapatkan pada dokumen Pemerintah Daerah” papar diretur Cagar, Edy toyibi.
“Kegiatan usaha dan ANDAL tersebut patut diduga memenuhi pelanggaran hukum cagar budaya yang dibarengi sangsi, juga terancam dilakukan kajian ulang karena ini dapat bersentuhan dengan perbuatan pidana,“ ujarnya saat menemani di lokasi.
”Undang-Undang nomor 11 tahun 2010 pasal 105 adalah memuat tentang ancaman pidana dari 1 – 5 tahun dan denda Rp 500.000.000,00(lima ratus juta rupiah) sampai Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) bagi setiap orang yang merusak cagar budaya,“ tambahnya.
“Yang lebih memprihatinkan tidak ada papan pengumuman kawasan cagar budaya, padahal dalam sejarah Tuban tercatat sangat jelas, ini tahu apa pura-pura tidak tau?“ Ujar lelaki yang juga sekretaris Cabang Ikatan sarjana Hukum di Tuban .Ini salah satu dari sekian banyak tapak jejak budaya Tuban yang tidak mendapat perhatian pemerintah sedikitpun*(at )

Kehidupan di Antara Bongkahan Batu

TUBAN – Seperti dalam bagian tulisan sebelumnya, bahwa dasar lembah purba apabila ditelusuri secara detail ada sebagian yang dipenuhi oleh bongkahan batu kapur dengan ukuran besar (boulder), namun lahan di antara bongkahan dimanfaatkan oleh penduduk sebagai lahan pertanian dan tempat mendapatkan dedaunan sebagai makanan hewan piaraannya.
Potensi keunikan fenomena geologi lain pada hamparan dasar lembah purba selatan Tuban yang notabene satu kesatuan lingkup kawasan karst kendeng utara yang merupakan batuan formasi rembang, salah satunya dengan adanya sebaran bongkahan batu-batu kapur berukuran besar yang dalam istilah ilmiahnya disebut boulder. Keberadaan boulder pada area kawasan karst merupakan bagian yang tak terpisahkan sebagai pencirian fisik makro eksokarstologi.
Terbentuknya bongkahan batu-batu kapur berukuran besar maupun sedang dan kecil (boulder) akibat adanya runtuhan secara fisik sacara alamiah seiring dengan gerak dinamik alam itu sendiri baik disebabkan oleh sisa gerakan tektonik lempeng bumi maupun proses konsentrasi kimia yang memicu lepasnya sebagian batuan dari kesatuannya.
“Fenomena geologi boulder dapat dijumpai hampir pada seluruh kawasan karst di dunia sebagai pencirian secara makro permukaan, disamping bukit, lembah dan tebing,“ Edy Toyibi, Direktur Cagar menjelaskan.
“Boulder selain di permukaan juga dapat ditemui pada lorong-lorong goa kapur, sebagai fenomena endokarst (bawah permukaan ), akibat runtuhan atap goa seiring proses terbentuknya goa itu sendiri biasa disebut dalam istilah keilmuannya speleogenesis“ tambah Edy.
Dari penyisiran sosialnews bersama Cagar yang dilakukan pada dua musim, yaitu musim kemarau dan musim penghujan untuk mendapatkan gambaran detail tentang keberadaan kawasan lembah purba yang dasarnya didominasi oleh boulder, akan kontribusinya pada lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat sekitar.
“Pada bongkahan boulder dengan sifat batuannya yang mudah larut atau dapat meloloskan air hujan melalui porositas dan permeabilitas dipermukaanya terdapat cekungan dengan tepian runcing-runcing, berbagai ukuran biasa disebut lapies bahkan banyak ditemui sampai membentuk lobang-lobang dalam,” papar Edy.
“lobang-obang itulah yang biasanya digunakan beberapa spesies hewan atau burung untuk berkembang biak, dan bahkan digunakan sebagian tumbuhan berbatang keras sebagai alur akar mencapai media tanah untuk asupan nutrisi “ edy yang nerocos mengebu – gebu menjelaskan
“Maka hal yang biasa jika diatas bongkahan boulder hidup pepohonan besar tetap tumbuh dan berkembang meski melewati beberapa musim kemarau tiba,” Edy menunjuk pohon randu hutan yang akarnya mencengkeram boulder besar.
Pada musim kemarau ataupun penghujan sisi boulder yang membentuk payung (canopy) dimanfaatkan masyarakat petani sebagai tempat menyimpan cadangan pakan dan kandang ternak bahkan berbagi tempat dengan pemiliknya, agar tidak jauh dari tanah garapan pertanian lahan kering yang memanfaatkan lahan diantara bongkahan untuk ditanami berbagai jenis kebutuhan pangan, dari jagung, ketela pohon dan rambat, cabe, kacang-kacangan sampai pada umbi-umbian lainya .
“Kalau kemarau kita cangkuli tanahnya agar musim hujan dapat saya tanami, Pak,“ kata Warsono (55 th) penduduk desa sekitar yang bertani memanfaatkan lahan-lahan di antara bongkahan batu di dasar lembah purba.
“Bagaimana lagi Pak? Sejak kakek saya ya mengolah tanah di sini, karena nggak punya tanah di atas sana,” tambah Warsono.
Lain lagi apa yang disampaikan Tikah (60 th), “Kalau musim rending (penghujan-red) dan musim ketigo (kemarau-red) bersama anak sepulang sekolah, ya mencari makanan untuk kambing,kadang ya sampai naik ke batu-batu itu, Pak,“ kata perempuan itu sambil sibuk mencari dedaunan dengan anak perempuannya.
“Juga mencari kayu bakar, Pak, kan banyak itu yang pohonnya kering,“ sambil menunjuk dahan dan ranting kering.
“Sifat dan unsur tanah di antara bongkahan batu kapur (boulder) baik dari fisik, kimia dan biologi terpenuhi untuk bercocok tanam bagi petani dengan catatan tak merubah bahkan merusak bentukan boulder tersebut karena sebagian unsur tanah didapat dari keberadaan boulder, melalui limpahan proses pelarutan kimia batuan dan limpahan unsur biologi dari sisa uraian serasah tumbuhan,“ kata Edy yang juga masih berstatus mahasiswa pertanian semester akhir.
“Akan lebih parah lagi jika terjadi pembiaran eksploitasi sebaran boulder dengan penghancuran untuk kepentingan lain oleh pihak tertentu. Mestinya diarahkan ditempat yang tak mempunyai dampak perubahan bahkan hilangnya fenomena geologi tersebut, itu baru bijaksana, Mas,” ujar Edy lelaki yang menghabiskan waktu luangnya untuk memantau kawasan karst. *(SNC – at)

PINTU AIR KANAL TIMUR LEMBAH PURBA

TUBAN, sosialnews.com – Seperti pada bagian Lembah Purba terdahulu, bahwa Lembah Purba pada sisi timur laut terdapat bentukan lorong lebar hingga mencapai 1.5 km yang menuju ke laut utara Pulau Jawa tepatnya di Kecamatan Palang membentuk seperti kanal raksasa.
Kanal timur Lembah Purba yang mempunyai lebar 1,5 km dibatasi oleh punggungan Dusun Mangkung Desa Ngino dan Desa Medokan dengan kedalaman dasar lembah kanal 150 – 175 mdpl, tepat di dasar lembah mengalir Sungi Klero hasil kumpulan dari empat anak sungai musiman di atasnya yang masih dalam area Lembah Purba. Sungai atau biasa disebut Kali Klero berkelok-kelok indah, mempunyai panjang sekitar 15 km sampai pada muara di antara Desa Kradenan – Gesikharjo Kecamatan Palang dengan melewati beberapa wilayah Desa Dermawu (hulu), Sambongrejo, Ngino, Genaharjo, Tunah (Kepet), Gesing, Dawung, Kradenan Dan Desa Gesikharjo (muara) .
Kawasan lembah kanal timur dan berbelok kearah utara merupakan areal lahan pertanian produktif, mulai dari lahan pertanian kering/tadah hujan sampai lahan pertanian lahan basah/sawah, ditunjang lapisan tanah secara fisik mempunyai ketebalan yang lumayan dari dasar batuan kapur yang mengalasi (top soil).
“Subur Pak kalau dapat pengairan yang cukup,“ ujar Sholeh (60 th) petani penggarap asal Desa Ngino yang lahanya berada di lintasan lembah kanal timur, sambil sibuk mencangkul kanan kiri tanaman jagung.
”Kalau musim kemarau ya kita ambilkan air dari Sungai Klero dengan bantuan mesin, namun masih ada sebagian warga yang masih mengambil air dengan cara memikulnya,“ cerita Sholeh.
“Kanal timur ini terbentuk setelah Lembah Purba ini ada, karena setelah Lembah Purba yang berbentuk cawan ini terbentuk akibat kejadian geologi adanya gerakan tektonik, sehingga terjadi colaps/penurunan permukaan dalam wilayah yang luas ditambah proses kimiawi berupa pelarutan sehingga membentuk cekungan seperti cawan raksasa,“ kata Edy Toyibi Direktur Cagar
“Bentukan morfologi/permukaan tersebut menampung air yang cukup besar, jika digambarkan seperti danau, begitulah Mas,“ tambah Edy.
“Dinding dari Lembah Purba yang berbentuk cawan tersebut, berupa dinding terjal atau perbukitan kapur yang mempunyai sifat bawaan dapat meloloskan air melalui lubang mikro pada batuan (intragranuler), sehingga pada sisi timur yang daerah paling dapat didesak air, lama-kelamaan jebol dan membentuk lembah menyerupai kanal untuk menjadi jalan air menuju tempat yang lebih rendah yaitu laut utara,“ terang Edy.
“Namun untuk menyingkap itu semua perlu dilakukan kajian keilmuan lebih lanjut dan mendalam sebagai aset fenomena geologi unik,“ Edy menjelaskan.
Dari pantauan sosialnews di lapangan bersama Cagar, aliran kanal timur berpencar kearah timur menuju aliran Bengawan Solo di Kecamatan Widang, sebab aliran yang membelok ke utara terpecah dengan adanya deretan punggungan Pakah, Gesing, Ngimbang dan Galang sehingga yang ke utara dapat dijumpai jejeknya melalui Sungai Klero dan yang ke Bengawan Solo melalui daerah flat (datar) berupa sawah melewati Desa Sumberagung (Dempel), Penidon, Mrutuk sampai Widang.
potensi Lembah Purba tersebut jika didekati dari berbagai keilmuan serta kearifan peradaban akan banyak dapat dikuak kepermukaan, sebagai pengkayaan pengetahuan dan pembelajaran dan sebagai laboratorium alam yang sangat luar biasa, “Ini menunjukan bahwa bumi bergerak dinamis sampai sekarang dengan sendirinya, namun yang memprihatinkan adanya campur tangan manusia seperti eksploitasi ekstraktif tak terkendali, menyebar dan masif, mengacaukan ritme pergerakan alam,“ kata Edy Toyibi, aktivis lingkungan ini mengakhiri.*(at)

Kondisi Waduk Sawir Tuban Saat Ini

OPINI, sosialnews.com – Waduk Sawir berada di sebelah tenggara Desa Sawir Kecamatan Tambakboyo Tuban, kondisinya saat ini terkepung oleh tapak pabrik semen. Disamping masyarakat sekitar kesulitan menuju lokasi waduk, saluran primer waduk juga terhalang pembangunan tapak pabrik semen seluas 8,4 ha. Saat ini, yang akan membawa perubahan drastis hamparan morfologi di kawasan tersebut.
Pembangunan yang saat ini sudah berjalan berupa pemagaran, perataan tapak pabrik sampai pada pembangunan 12 fasilitas komponen pendukung produksi selain pelabuhan dan PLTU. Pabrik semen yang merupakan metamorfosis dari PT DA tersebut akan menguras SDA hampir 3,6 juta/tahun, diantaranya 4 juta ton batu kapur, 900.000 ton tanah liat, 70.000 ton pasir silica, 70.000 ton pasir besi dan ribuan ton batu bara.
Pada salah satu sudut lokasi terdapat bangunan Waduk Sawir, sebuah waduk penampungan air larian permukaan (surface run off) seluas 1 ha dengan kedalaman 7 – 10 m, terdapat dua saluran primer dan sekunder. Limpahan volume air pada musim hujan melalui saluran primer  mengikuti  cekungan lembah kecil dan mengairi tegalan disisi utara sampai pada lahan pertanian basah Desa Sawir dan Desa Glondonggede. Namun cekungan lembah tempat secara alamiah mengalirkan air permukaan, sekarang terhalang oleh tapak pabrik berpagar yang hanya berjarak 10 m. Pada saluran sekunder yang aliranya diatur oleh kran besar lempengan baja dialirkan melalui saluran sipil irigasi buatan, menuju arah utara hingga sampai pada lahan pertanian basah ratusan hektar dibawahnya.
Tak berhenti disitu keadaan waduk mendatang, akan semakin terpuruk keberadaanya dikarenakan daerah tangkapan air diatasnya. Disamping menjadi tapak pabrik juga berada satu alur dengan lokasi penambangan batu kapur (limestone) untuk  bahan baku semen yang mencapai luasan 800 ha bahkan lebih. Terdesaknya fungsi waduk yang sudah ada sejak zaman penjajahan tersebut saat ini menuju titik nadzir.
Masalah lain yang nampak meski baru tahap pembangunan, adalah masyarakat kesulitan menuju lokasi Waduk Sawir terutama dari arah utara, karena terdapat pagar kawat keliling pada paling luar bangunan tapak pabrik didekat waduk kurang lebih 10 m, namun juga terdapat patok pembatas tanah hanya berjarak kurang lebih 5 m dari tepian waduk. “Kalau sekarang masih bisa kesana meski melalui pintu-pintu yang ada, dengan penjagaan petugas keamanan, tapi tidak tahu lagi besok kalau sudah ada pabriknya mas,“ ujar Karum 50 tahun petani sekitar yang biasanya menggembala sapi sampai ke waduk. ”Tidak tahu pak, kog masyarakat selalu dibuat susah, padahal kebiasaan menggembala sampai minum dan memandikan ternak diwaduk sepertinya dirampas,“ tambah Karum, yang lahan tegalannya hanya beberapa meter sisi barat bangunan pagar dan tidak akan dijual pada pabrik.
Dari hasil pantauan sosialnews.com bersama  Direktur Cagar Edy Toyibi di lapangan, memang nampak kesibukan pembangunan di area tapak pabrik sampai pada pembangunan pagar pembatas keliling, “Lihatlah mas, sepertinya perusahaan sudah mulai menunjukan arogansinya dengan melibas fasilitas-fasilitas umum yang semestinya masyarakat leluasa menggunakanya, tapi mereka (pabrik semen), membuat warga tidak nyaman,“ ujar Edy menunjukkan beberapa fasilitas umum yang bersinggungan dengan fasilitas perusahaan semen tersebut.
Kontributor sosialnews.com diajak menyusuri sisi luar komplek pabrik yang masih dalam pengerjaan hingga sampai pada bangunan Waduk Sawir. Untuk menuju kesana kami harus melelui beberapa pintu pagar yang selalu diawasi petugas keamanan dengan tatapan curiga. Alahkangkah tercengangnya setelah kami berada diatas bangunan tanggul Waduk Sawir, sejauh mata memandang dari beberapa sudut waduk yang pada musim penghujan melimpah dipenuhi air dari air hujan dari dataran miring arah timur, selatan dan barat daya. Dari bekas-bekas yang ditinggalkan permukaan tertinggi air masih nampak akibat material lumpur yang menempel di dinding bangunan.
“Kawasan karst sebelah timur, selatan, dan barat daya itu, adalah kawasan tangkapan air hujan (catmenth area), selain dihantarkan melalui permukaan dengan istilah surface run off dan sisanya diloloskan kebawah permukaan oleh sifat batuan kapur yang mempunyai kemampuan menyinpan dan meloloskan air hujan melalui porositas dan permeabilitas,“ ujar Edy yang pernah kursus eksplorasi gua sertifikasi Internasional dengan intruktur dari Kanada, menjelaskan.
“Waduk seperti ini selalu ada pada kawasan karst  di seluruh Indonesia,karena fenomena bijak untuk memanfaatkan morfologi kawasan karst untuk kesejahteraan penduduk dengan meminimalkan eksploitasi ekstraktif,“ tamaba Edy
“Sejak awal rencana pembangunan pabrik semen ini sudah kami tolak, dari penyusunan yang kami nilai ceroboh  tentang AMDAL sampai ANDAL-nya melalui beberapa revisi  itupun setelah kami kritisi terkait telaah potensi dan dampak kawasan karst dalam bentuk aksi  bersama teman-teman sejak  tahun 2007 sampai sekarang,“  papar Edy
“Kalau berbicara masalah kebutuhan semen nasional ,mereka kami sarankan untuk membangun pabrik semen di Indonesia bagian timur yang melimpah bahan bakunya, tidak berdesak-desakan di Pulau Jawa apalagi di Tuban yang sudah over load,“ Edy memberi solusi.
“Pulau Jawa diperuntukan industrialisasi dalam bentuk non ekstraktif dan ruang kehidupan mahluk hidup,“ kata lelaki yang lulusan jurusan biologi tersebut.
“Dan yang penting perlu diwaspadai dibawah pegunungan karst Mliwang yang lebar 3 km dan panjang 7 km, terdapat keperluan hajat hidup orang banyak diantaranya petani yang membutuhkan air permukaan maupun air bawah permukaan, jangan lantas pabrik semen sudah memapras kantong persedian air, masih berebut menggunakan air tanah 600.000³ per hari untuk produksi semen,“ kata Edy sampaikan keprihatinan.
“Terisolasinya Waduk Sawir oleh pabrik semen semestinya menjadi perhatian semua pihak, belum lagi keberadaan fenomena alam gua di atas sana mas,“ harap Edy mengakhiri. *(At)

Akses Jalan Holcim Potong Akses Jalan Antar Desa

OPINI, sosialnews.com – Pembangunan sarana dan prasarana pabrik semen PT Holcim Indonesia, Tbk di Desa Merkawang Kecamatan Tambakboyo Tuban, salah satunya adalah berupa akses jalan, guna menunjang kegiatan produksi. Di sisi lain keberadaan fasilitas umum berupa akses jalan di desa tersebut, adalah sebagai media mobilitas warga antar wilayah, dalam kegiatan sosial maupun ekonomi, saat ini terpotong oleh akses jalan Holcim.
Keberadaan tapak pabrik semen PT Holcim yang berjarak kisaran 2 km dengan pelabuhan dan PLTU, dari perusahaan tersebut ke arah utara pantai Laut Jawa, di bangun akses jalan dua arah sebagai lalu lintas kegiatan perusahaan, diantaranya sarana angkutan bahan baku maupun hasil produksi dari dan ke pelabuhan. Dalam pembangunan akses jalan pabrik semen tersebut, memotong dua akses jalan yang biasa digunakan masyarakat sejak sebelum keberadaan pabrik semen sampai sekarang.
Pertama jalan dari dan atau ke Dusun Satriyan dengan Dusun Ketapang Desa Glondonggede, jalan berjarak panjang sekitar 2 km menjadi akses warga ke dua dusun tersebut, baik kegiatan sosial maupun aktifitas pertanian.
Kedua adalah akses jalan dari dan atau Desa Merkawang dengan desa-desa di wilayah barat antara lain: Desa Sawir, Desa Dasin bahkan beberapa wilayah barat Kabupaten Tuban, selain jalan nasional pantura Pulau Jawa.
Jalan ini selalu sibuk dilalui masyarakat terutama saat pagi dan sore hari. Pagi hari dilalui mulai anak sekolah, pedagang sampai petani yang mau ke lading mereka, sedangkan pada sore hari ramai oleh mereka yang pagi hari meninggalkan desa kembali ke rumah masing-masing, setelah seharian jalani aktifitas. Lebih-lebih saat musim panen tiba, aktifitas angkut hasil pertanian meningkat tajam.
Dari pantauan sosialnews.com di lapangan perlintasan jalan tersebut dijaga tidak kurang dari empat petugas keamanan perusahaan untuk mengatur lalu lalang kendaraan masyarakat dan perusahaan yang sedang mengerjakan pembangunan tersebut. Tidak jarang juga kendaraan perusahaan yang didahulukan lewat, sehingga masyarakat harus bersabar menunggu giliran lewat.
“Ya terganggu, saya harus berhenti dahulu sebelum melewatinya“ ujar Safak 40 tahun (bukan nama sebenarnya), karena takut namanya disebutkan.
“Mas bias lihat sendiri kan,“ kata lelaki itu sambil menunjuk kearah perempatan simpang jalan, sambil menata bawaan berupa seikat besar makanan ternak di jok belakang motornya.
“Kalau kami mau ke Dusun Santriyan harus melewati perpotongan jalan dua arah pabrik dan tidak jarang kami diberhentikan dahulu jika ada kendaraan pabrik yang mau lewat,“ ujar Ridho (24 tahun) penduduk Dusun Ketapang.
“Begitu juga kalau kami dari dusun Satriya, hal sama dilakukan,“ tambah Ridho saat pulang berkunjung silaturahmi lebaran tahun ini.
“Kog bias ya mas? Jalan umum dipotong begitu saja oleh mereka dan seolah mereka berkuasa,“ ungkapnya, tak habis pikir.
Direktur Cagar Edy Toyibi yang bersama-sama di lokasi mengatakan, ”Kalau perusahaan mempunyai hati nurani dan diaplikasikan dalam itikad baik tentu mereka dengan kemampuan teknologi, bisa kog, mereka membuat masyarakat sekitar merasa nyaman, tidak malah arogan mengganggu kehidupan warga,“ jelas Edy.
“Sekapasitas industri besar seperti Holcim, tidak sulit membuat jalan layang, untuk kelancaran mereka juga kenyamanan masyarakat, dan mestinya sudah termasuk dalam kajian amdal/andal mereka toh mas,“ sambung Edy geregetan.
“Hal itu juga mengembalikan hak-hak masyarakat yang terampas secara langsung maupun tidak langsung dengan cara yang bijaksana, kalau tidak mau dikatakan mereka perampok,“ papar Edy lantang.
“Belum lagi para petani yang lahanya sudah mulai terhalang oleh pagar tinggi pembatas kawasan perusahaan, mereka harus bersusah payah mencari jalan memutar, ini belum produksi sudah seperti ini bagaimana jikalau sudah beroperasi nanti?“ Edy mengakhiri dengan pertanyaan besar. *(At)

Fenomena Karst Bukit Mliwang Terancam

OPINI, sosialnews.com – Kawasan karst sejak dahulu menjadi bahan baku pokok berbagai perusahaan hulu sampai hilir, sehingga semua fenomena alam bawaan yang terbentuk seiring terbentuknya kawasan baik positif (bukit/tower karst) dan negatif (lembah, gua, dll) jutaan tahun yang lalu terancam hilang tergerus. Begitu pula di tapak tambang Holcim Tambakboyo Tuban.
Kawasan karst Tuban merupakan bagian dari rentangan peggunungan kendeng utara dari Grobogan Pati sampai Gresik, kaya akan fenomena geologi unik di atas permukaan maupun di bawah permukaan, juga sebagai bangunan alam yang mampu menyimpan cadangan air bawah tanah untuk wilayah pantura,juga tempat hidup vegetasi endemik, satwa sampai pada peradaban manusia dari zaman ke zaman.
Punggungan kapur Mliwang juga kaya akan potensi fenomena bentukan alam karst di atas maupun di bawah permukaan. Ada banyak bukit-bukit (tower karst) yang menjulang diantaranya Bukit Jambangan, Segero, Bukit Sladeg dan lain-lain. Sementara fenomena karst di bawah permukaan yang sudah terdata terdapat 7 gua kapur diantaranya: Gua Segero, Gua Jambangan 1 & 2, Gua Landak 1&2, Sopo Nyono dan Celah Sladeg, sementara cekungan lembah yang ada menjadi kanal tampungan air larian permukaan menuju kearah yang lebih rendah, baik kearah utara maupun kearah selatan, disamping itu punggungan Mliwang menjadi tendon air bawah permukaan sebagaimana teori pencirian ilmu hidrologi karst.
Direktur Cagar Edy Toyibi bersama beberapa anggota saat bersama-sama di lapangan pada sosialnews.com menjelaskan, “Mari kita bahas satu per satu potensi karst Mliwang yang terancam keberadaannya oleh Hocim,“ Edy mengawali.
“Dari sini bias kita lihat gugusan bukit-bukit itu, keberadanya seiring dengan terbentuknya punggungan karst ini, akibat dari pelarutan kimia antara air hujan dan kapur ditambah tiupan angin (denudasi) dengan rentang waktu lama dan masih aktif proses sampai sekarang,“ Edy menjelaskan sambil menunjuk gugusan bukit.
“Setiap gugusan bukit mempunyai beberapa potensi, diantaranya geologi (gua), flora calsidophilic/vegetasi yang hidup di batu gamping (kaktus, sukun, mangga, dll), fauna (kelelawar, kera, landak, dll) dan ada kearifan local tentang cerita rakyat, itu semua akan hilang atau terisolasi oleh tapak tambang Holcim, ini perbuatan tidak bijak mas,“ tambah Edy.
“Untuk gua yang ada sudah kami inventarisasi dan petakan fisik lorong-lorongnya, agar menjadi dokumen seandainya fenomena itu hilang dilibas tambang Holcim, dan kami Cagar dan penggiat gua Tuban akan terus lakukan pendataan gua atau ceruk dan celah alami di tengah pemerintah dan perusahaan yang tidak memperdulikan itu,“ papar Edy dengan penuh semangat.
“Untuk fauna kelelawar sudah beberapa kali kami mengantarkan peneliti LIIPI untuk invetarisasi dan identifikasi, guna mengetahui jenis spesies, sebaran sampai pada apa yang dimakan dan ketersediaan pakan di lingkungan itu, dan Holcim akan mengancam itu semua,“ jelas Edy.
“Dampak besar yang akan terjadi di komplek pabrik semen Holcim, diantaranya perubahan morfolgi dengan hilangnya fenomena alam permukaan dan bawah permukaan oleh akibat tapak industri maupun lahan tambang bahan baku, dan perubahan pola aliran, infiltrasi air bawah permukan, juga akan terjadi perubahan keanekaragaman serta kelimpahan biota akibat terbukanya lahan dan yang lebih rumit lagi tetang keberlanjutan air bawah tanah,“ Edy panjang lebar menjelaskan.
“Apapun pendekatan permodelan teknik penambanganya oleh konsultan tambang para ahli dari salah satu perguruan tinggi di Pulau Jawa itu,“ Edy mengakhiri penuh menyimpan makna.
“Pegunungan Mliwang yang membujur ke timur – barat, dipercaya menjadi lintasan siar agama Islam di pantai utara Jawa hal ini ditandai oleh makam Mbah Abdullah di atas Desa Mliwang,“ ujar Mujari 50 tahun salah seorang peziarah makam yang dipercaya mempunyai Karomah tersebut. *(at)

Tercerabutnya Nadi Budaya Bumi Mliwang

Nara Sumber:
Sudjarwoto Tjondronegoro
TUBAN, sosialnews.com – Peradaban manusia tidak bisa tidak tanpa jejak meninggalkan kearifan lokal, yang berkembang menjadi kebudayaan sebagai komponen penting, dari akar budaya masyarakat menjadikan symponi indah keanekaragaman bangsa Indonesia, khususnya penduduk pulau jawa. Sekarang tercerabut oleh budaya luar akibat penetrasi budaya, melalui berbagai kanal diantaranya Industrialisasi.
Wiwo wite…,lesmbodonge….,karwo pete….. (ubi jalar panjang batangnya……, ubi tales lebar daunya……, kendaraan gerobag panjang jejaknya), perumpamaan lama yang masih melekat pada masyarakat jawa hingga kini, bahwa semua yang ada itu tidak lepas dari asal-usul mengapa itu terjadi, oleh sebab itu mitos mempunyai makna yang cukup besar untuk perkembangan kepribadian bangsa yang berkelanjutan, sehingga dituntut kepada semua pihak tidak harus membutakan mata terhadap asal-muasalnya mengapa segala sesuatunya itu ada.
Tatkala masyarakat dan atau sekelompok kecil masyarakat mulai meninggalkan adat, adab, dan aqidah Akibat dari penetrasi kebudayaan universal yang kuat menerjang seluruh sendi kehidupan berbangsa dan beragama di Indonesia. Akan muncul prilaku aneh yang dipengaruhi oleh kristalisasi dampak sosial tersebut, manakala semua ini dilakukan pembiaran. Tanpa adanya perlindungan dan pengawetan nilai-nilai luhur budi pekerti endemik masyarakat lokal khususnya nasional bangsa pada umumnya.
Mari kita secara seksama telusuri makna kata berantai satu-persatu dari masing-masing genre tradisi cerita jawa di seputaran bukit mliwang :
  • Desa Mliwang terkandung makna, mili (mengalir) dan awing-awang (angkasa/langit),
  • Desa Merkawang terkandung makna, mekar (berkembang merekah) dan awang-awang (angkasa/langit),
  • Desa Glondonggede terkandung makna, gelise (percepatan) dan mondong (mengangkut), cepat dalam upaya menyelesaikan persoalan-persoalan hidup demi ketahanan dari ancaman pihak luar yang berkepentingan jahat,
  • Desa Sawir terkandung makna, sawah (pertanian basah) dan sumilir (subur) artinya desa sawir merupakan lahan pertanian yang baik hingga sekarang terutama di utara pemukiman,
  • Desa Dasin terkandung makna, padasane (tempat bersuci) dan mukmin (masyarakat beragama Islam) tinggalan peradaban itu ada sampai sekarang, dimana suasana beragama masih sangat kental di masyarakat,
  • Desa Klutuk terkandung makna, kluwehan (kelebihan) dan tuk (sumber air) ini ditandai dengan keberadaan Sendang Klutuk yang airnya melimpah ruwah,
  • Desa Sotang terkandung makna, sosote (kutukan) dan angkoro (perbuatan tidak menyenangkan), dipercaya bahwa masyarakat desa tersebut pada zaman dahulu, akan tidak selamat jika ada perbuatan angkara murka yang berdampak pada keselamatan masyarakat banyak,
  • Desa Gadon terkandung makna, gadang (menghambat) dan ontran-ontran (kegiatan yang merugikan masyarakat banyak),
  • Desa Pabeyan terkandung makna, pasebane (pertemuanya) dan iman (teguh/percaya pada keyakinan agama), artinya didesa tersebut kultur masyarakat dahulu sebagai tempat silaturahmi kaum alim dalam membicarakan kepentingan umat,
  • Desa Tambakboyo terkandung makanan, tambak (mencegah) dan boyo (bahaya) dengan arti luas Desa Tambakboyo masyarakatnya mempunyai ruh kental, mencegah bahaya atau menyelesaikan masalah yang sedang dan atau yang akan terjadi demi kemaslahatan umat.
Budaya pada pekerti luhur lokal yang beranjak dari keinginan harmonisasi antara hubungan mikro dan makro kosmos, diaktualisasikan dengan perlakuan pada sumberdaya alam yang diyakini memberi kemanfaatan masyarakat dan keturunanya seperti budaya prosesi adat pra dan paska tanam. Upacara adat pada tempat-tempat seperti mata air, hutan lindung dan lain-lain, sebagai konsep perlindungan bukan mengumbar nafsu menghabiskan/merusak, dan budaya ziarah makam bahkan sampai pada budaya Islami berbondong-bondong sukarela datangi pengajian-pengajian dan masih banyak contoh lain.
Dari pembacaan makna-makna pada masing-masing wilayah seharusnya mendapat petunjuk atau hidayah, untuk mempertahankan segala sesuatu yang akan menekan dengan keras menuju hancurnya kerusakan lingkungan dan berujung pada kehancuran budaya oleh roda kapital yang berorientasi keuntungan ekonomi prakmatisme. Sehingga masyarakat sekitar tidak mengambil peran dan mendiamkan semua ini.
Faktor terbesar dan tercepat pergeseran nilai-nilai luhur lokal, apabila di suatu kawasan ada kegiatan investasi dalam sekala besar dan memberi dampak aktifitas sosial ekonomi juga eksploitasi sumber daya alam secara massif, terbawa oleh eksodus pendatang dan perubahan struktur social, tercipta klaster masyarakat elit, juga akan tergali jurang lebar status sosial, seperti rencana berdirinya pabrik semen Holcim di bukit Mliwang, apabila tidak tertangani dengan baik dapat terjadi. Cita-cita bangsa yang terkandung dalam Proklamasi, UUD ‘45 dan Pancasila yang berakar dari kebudayaan daerah di seluruh Nusantara termasuk di Mliwang dan sekitarnya menjadi tercerabut dari akarnya.*(at)

Bukit Mliwang Tandon Raksasa Air Karst

TUBAN, sosialnews.com – Bukit Mliwang sebagai tandon air karst bawah permukaan dapat dilihat secara fisik, dengan keberadaan sendang di sepanjang punggungan yang membujur dari timur ke barat, diantaranya Sendang Cokrowati, Sendang Klutuk, Sendang/Sumur Sawir, dan Sendang/Sumur Murkudu Mliwang.
Bukit Mliwang yang membujur dari timur – barat berupa gugusan kotak memanjang menjadi bentukan kawasan karst (batu kapur), alluvial dan pasir masuk dalam kelompok Formasi Paciran, sedangkan umur batuan pilio-plistosen yang terdiri dari batu gamping pejal, lunak dan keras.
Keberadaan batu gamping/kapur di Bukit Mliwang, membawa keterdapatan air bawah tanah yang berinfiltrasi melalui kemampuan sifat porositas dan permeabilitas batuan. Sehingga kawasan tersebut berfungsi sebagai peresapan air dan penyimpan air yang baik oleh batuan gamping tersebut. Faktor yang mendukung percepatan infiltrasi air oleh batu gamping adalah dengan stabilnya vegetasi diatasnya, mulai dari ground cover vegetation (vegetasi penutup/semak perdu) sampai pada tumbuhan keras yang tumbuh di kawasan tersebut. Sehingga tata air bawah permukaan, baik yang tersimpan sebagai tandon bawah permukaan ataupun yang mengalir dinamis, melalui pembesaran saluran intragranuler pada kesatuan batuan dan air larian permukaan/surface run off.
Dari tata air bawah permukaan yang bergerak dinamis, melalui pola hubungan saluran intragranuler, ada beberapa yang muncul kepermukaan secara alami menjadi mata air yang tertampung pada cekunga, yang biasa masyarakat sebut sebagai sendang dan yang dengan campur tangan manusia masyarakat menyebut sebagai sumur, baik itu sumur gali atau sumur bor. Ini sangat banyak ditemui di sepanjang perbukitan Mliwang.
Direktur Cagar Edy Toyibi saat bersama sosialnews di lapangan mengatakan “Permasalahan air di seputaran Bukit Mliwang rumit dan bukan hanya isu negative saja tapi kenyataan, baik secara teori hidrologi/air maupun keberadaan di lapangan yang sudah ditunjukkan oleh alam,“ tandas Edy
“Keberadaan rencana penambangan batu gamping/kapur oleh pabrik semen Holcim bersentuhan dengan itu, mas,“ lanjut Edy.
“Saya melihat dan mendengar banyak para pakar atau lembaga ilmiah melakukan penelitian tentang batu gamping/kapur karst, khususnya hidrologi karst, baik yang dilakukan atas permintaan perusahan semen Holcim atau pun independent, hasilnya tidak banyak disampaikan kepada publik, sehingga tidak fair play,“ sambung Edy agak geregetan.
“Dari hasil penelitian uji laboratorium oleh Tim Geologi kuarter dan lingkungan bandung 2002, disampaikan daya simpan batu gamping/kapur mencapai 87,2 – 198 liter/meter kubik, nah jika Holcim dan lainya menambang bahan baku ribuan ton/tahun dan ribuan liter kebutuhan air tanah untuk produksi, saya khawatir bencana lingkungan dan sosial terjadi,“ ujar lelaki salah satu pemerhati karst Indonesia yang tetap konsisten keberadaanya.
“Yang lebih jahat lagi beberapa hasil study sebagian pakar dan lembaga ilmiah pada kawasan rencana tambang Holcim di Mliwang, bukan dampak pertambangan bahan baku semen Holcim, yang perlu diwaspadai terhadap ketersediaan air bawah tanah malah sumur dan sumur bor masyarakat direkomendasi untuk diwaspadai, apa ini tidak pembodohan namanya,“ Edy mengakhiri penjelasanya sambil menunjukan dokumen tentang itu.*(at)

Berkali Menteri Datang di Tuban Desa Mliwang Tetap Berada di Zona Supit Udang Pertambangan

TUBAN, sosialnews.com – Desa Mliwang yang berada di ketinggian 50 meter di atas permukaan laut dihuni oleh sekitar 2.000 penduduk yang sebagian besar bermata pencarian sebagai petani kondisinya mendatangkan berada di zona supit udang yaitu sebuah kawasan yang terkepung oleh kegiatan industri semen.
Desa Mliwang yang pada bagian terdahulu mempunyai arti mili (mengalir) awang-awang (angkasa) masuk dalam wilayah administratif Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban Jawa Timur, berpenduduk sekitar 2000 jiwa lebih dengan mata pencaharian utama sebagai petani, berada di ujung paling timur dari punggungan Mliwang sisi lereng selatan.
Keberadaan Desa Mliwang akan terkepung oleh eksploitasi sumber daya alam sebagai bahan baku dua raksasa pabrik semen. Disisi selatan dan timur desa sekarang sudah ada eksploitasi clay/lempung. Di sisi timur berbatasan dengan Desa Karangasem Kecamatan Jenu yang dipisah oleh jalan raya Glondong – Kerek, terdapat cekungan-cekungan raksasa bekas tambang lempung yang ditinggalkan begitu saja dan sebagian lagi aktifitas pengambilan bahan lempung berjalan dengan intensitas tinggi guna memenuhi kebutuhan bahan baku semen gresik, hal ditandai beberapa alat berat siang malam tak henti mengeruk dan lalu lalang kendaraan truk besar dari lokasi tambang menuju tapak pabrik, dan perlu diketahui lahan tambang lempung berada pada lahan subur pertanian basah/sawah.
Begitupun di selatan desa ada beberapa cekungan bekas galian lempung sebagai bahan baku semen gresik yang masih menganga pada lahan persawahan berbatasan dengan Desa Kedungrejo, untuk memenuhi kebutuhan produksi awal semen holcim akan tanah liat sekitar 29,5 ha akan terbebaskan semuanya beradalahan peranian sawah Mliwang.
Disisi  barat Desa Mliwang menjadi 82,9 ha serta 386,4 ha untuk wilayah Desa Kedungrejo 384, areal bahan baku batu kapur pabrik semen Holcim ada dua status lahan yang dipakai pabrik semen Holcim pertama tanah perhutani melalui status pinjam pakai dan sistem tanah kompensasi, untuk kompensasi berada di dua tempat, kesatu di Wilayah Rembang Jawa Tengah luas 142,6 ha dan yang kedua Kabupaten Blitar luas 770 ha. Di luar lahan hutan ada juga 253,293  ha tanah adat (hak milik) untuk tambang batuan kapur, dan 55,7125 ha untuk bahan baku clay.
Di sisi utara Desa Mliwang letaknya ujung paling selatan Desa Karangasem untuk kantor seluas 5,1360 ha ditambah untuk terminal 104 ha dan lagi ada tapak industri semen holcim 84,4 ha yang memproduksi dampak kebisingan dan debu.
Sosialnews.com bersama Direktur Cagar Edy Toyibi canangkan program peduli lingkungan yang akan mengupas tuntas problem besar di Kabupaten Tuban terkait SDA yang carut marut. Dalam menelisik liputan jelajah alam di bumi seribu gua. Di lokasi, Edy  yang tlah memakrifati alam mengatakan, “Dari sini kita bisa melihat dan akan melihat bayangan apa yang akan terjadi pada Desa Mliwang yang terkepung oleh aktivitas industry ekstraktif,“ tunjuk Edy berdiri di puncak Bukit Mliwang beberapa meter di atas pemukiman.
“Bagi masyarakat terutama perkembangan generasi penerus yang akan terdampak menjadi hunian yang tidak sehat “ tutur Edy.
“Yang saya khawatirkan Desa Mliwang akan bedol deso (pindah desa) dan hilang dari peta administratif beserta akar budaya kearifan lokal,“ kekhawatiran Edy beralasan sebab pernah ada diskusi hampir menjadi rekomendasi konsultan dan pakar akan keberlanjutan Desa Mliwang, melihat tekanan berbagai arah eksploitasi bahan baku semen.
“Desa Mliwang laksana berada ditengah-tengah supit udang, terjebak bahaya ekologi dari empat penjuru mata angin,“ Edy memberi analogi. *(at)

Bukit Mliwang (Bag. 8)

TUBAN, – Entah berapakali gelombang aksi yang dilakukan oleh mayarakat merkawang sejak akan berdirinya pabrik semen PT Holcim Indonesia, Tbk. Sampai sekarang desa terdekat dari pabrik semen yang bahan bakunya di Bukit Mliwang, selalu bergoyang seolah tak terhenti, terus sampai kapan?
Peserta aksi warga Merkawang yang menaiki mobil pickup terbuka dan banyak didominasi ibu-ibu tersebut langsung menuju halaman Mapolres Tuban pada suatu hari, dengan menempuh jarak hampir 30 Km dibawah terik mentari tak membuat semangat warga untuk menyampaikan yang dipercaya ketidakadilan bagi mereka tak memudar.
Inti dari tuntutan mereka adalah hal hakiki yang bersinggungan erat dengan kelangsungan hidup keluarganya yang notabene dijamin mutlak konstitusi Negara Republik Indonesia ini. Tanah adalah lahan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan bercocok tanam dengan berbagai tanaman yang disesuaikan musim yang kadang hanya cukup untuk makan, lain tidak.
Apakah pemodal paling dapat porsi hak terbanyak, sehingga mampu menancapkan keinginanya kepada siapa saja, bahkan para penjaga negara dan para penguasa, sehingga untuk mendapatkan setetes haknya masyarakat harus menakar nyawa cadanganya? bahkan tidak jarang dianggap ditunggangi? Kenapa negara tidak dapat menurunkan penunggangnya atau sebaliknya pemodal yang yang menunggangi penyelenggara negara?
“Saya datang ke sini (Mapolres Tuban – red ) untuk minta keadilan,“ kata Kusriwati 37 tahun warga Merkawang.
“Saya mewakili bapak saya yang sudah puluhan tahun merawat tanah negara itu dan tiba-tiba dijual kepada holcim oleh pejabat desa tanpa saya dikasih apa-apa pak,“ ujar ibu satu anak tersebut.
“Sudah setahun saya dan warga lain memperjuangkan secuil hak saya, Pak,“ keluh ibu berkulit kelam tersebut.
Potret kecil dari rentetan fragmen kehidupan berbangsa dan bernegara bagi warga negara yang tidak semestinya menerima perlakuan negara seperti itu, tindakan cermat potret sesaat dalam analisis dampak lingkungan (Andal) dan analisis dampak keamanan (Andak ) menjadi referensi awal untuk mendahului mengambil langkah kenegarawanan yang memberi rasa keadilan masyarakat bukan tunduk pada pemodal, jikalau kita tidak mau terus melihat warga Bukit Mliwang bergoyang……?* (at)

Adendum Andal, RKL dan RPL PT. Semen Dwima Agung Tuban

TUBAN, sosialnews.com – Bukit Mliwang sebagai areal tambang PT. Semen Dwima Agung (PT. Holcim), pabrikan semen yang berbahan baku utama menggunakan batuan kapur kisaran 90%. Menjadi bukit yang paling banyak mendapat Adendum (perubahan) mengenai Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), rencana pengelolaan lingkungan ( RKL) dan rencana pemantauan lingkungan (RPL) sebanyak dua kali Adendum.
Karena tidak ada dampak baru maka diputuskan adendum,“ papar Ir. Bambang Irawan, MM. Kabid ANDAL Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Tuban mengawali.
“Dan kewenangan adendum kedua berada di kabupaten Tuban,“ tambah Bambang, lelaki jangkung.
“Karena sebelumnya sudah dapat persetujuan kelayakan dari Gubernur Jawa Timur yaitu dalam AMDAL/ANDAL 2008 dan Adendum pertama tahun 2010-2011,“ Bambang memberi alasan.
Adendum yang kedua ini pada prinsipnya kembali pada AMDAL/ANDAL pada tahun 2008, meliputi kapasitas produksi, luasan lahan tambang dan pembangunan PLTU,“ Bambang meneruskan.
Dari data yang disampaikan Bambang, bahwa pada semula dalam rencana sesuai AMDAL tahun 2008 adalah 8000 ton klinker/hari atau 3,2 juta ton semen/tahun, diandendum Oktober 2010 menjadi 4000 ton kliker/hari atau 1,7 ton semen/tahun. Diadendum yang kedua tahun 2012 ini kembali lagi menjadi 8000 ton klinker/hari atau 3,2 juta ton semen/tahun.
Bahan baku berupa batu kapur, tanah liat, pasir besi dan pasir silika dengan volume mencapai sekitar 4,54 juta ton/tahun, diandendum pertama menjadi 2.28 juta ton/tahun diadendum lagi tahun 2012 sebesar pada tahun 2008.
Pada AMDAL 2008 akan dibangun PLTU untuk memasok kebutuhan energi perusahaan pada adendum pertama 2010 tidak ada pembangunan PLTU, sehingga sumber daya listrik dipasok dari jaringan PLN, namun pada adendum yang kedua jadi akan dibangun PLTU lagi.
Ditempat lain Direktur Cagar Edy Toyibi berpendapat, “Kami menyayangkan adanya adendum yang kedua kembali kepada rencana kegiatan produksi dan pembangunan sarana kembali ke AMDAL 2008,“ ujar Edy.
“Tentunya perubahan tersebut akan memberi tekanan yang signifikan pada lingkungan,” tambahnya
Dan Pemerintah Kabupaten Tuban dalam hal ini Badan Lingkungan Hidup Tuban, hanya bisa nurut dan manggut – manggut saja atas berubah-ubahnya kebijakan koorporasi, itu baru mau produksi saja sudah seperti itu ? , ujar Edy heran
Semestinya dilakukan setelah beroperasi dengan evaluasi bertahap, tidak seperti ini, Mas“ kata Edy dengan nada tinggi.
Kalau untuk menjawab kebutuhan semen dalam negeri dan permintaan eksport keluar negeri, kan bisa membangun pabrik di luar Jjawa, tidak malah berjejal di Tuban dan Pulau Jawa gini, mas,” Edy mencontohkan
Masih kata Edy, “Jawa sudah jenuh oleh eksploitasi kawasan karst (kapur) baik pihak pabrik semen atau yang lain, berikan ruang peruntukan untuk perkembangan penduduk dengan kualitas lingkungan yang baik,“
apa yang kami sampaikan bukan tidak beralasan, karena dengan adendum kedua kembali ke Amdal 2008 membawa konsekwensi pada komponen yang lain seperti, volume pelabuhan atau kapasitas dermaga, luasan lahadan lain-lain beserta dampak pengiring negatif,“ edy memaparkan.
“Ini salah satu contoh indikasi bahwa kapital mampu mengatur pemerintahan, preseden buruk, Mas,“ Edy mengakhiri. *(at)

Petani Bukit Mliwang Diujung Tanduk

TUBAN, sosialnews.com – Masyarakat yang menggantungkan penghidupan secara alamiah dengan cara bertani di Bukit Mliwang tidak bisa dihitung dengan jari, karena saking banyaknya, namun kekhawatiran akan terjadi perubahan pola bercocok tanam diujung tanduk, sebab Bukit Mliwang yang dipercaya sebagai tandon air sebentar lagi terdegradasi oleh aktifitas penambangan pabrik semen, yang saat ini sedang membangun tapak perusahaan dan fasilitas pendukung yang masih membutuhkan waktu sekitar 24 – 30 bulan mendatang.
Pemanfaatan lahan basah disisi utara Pegunungan Mliwang untuk kegiatan pertanian jenis tanaman lahan basah, baik musim kemarau yang menggunakan mesin untuk mengangkat air bawah tanah guna memberi asupan tanaman dan musim penghujan yang sebagian memanfaatkan aliran sungai-sungai musiman berhulu di Bukit Mliwang, kini sudah tidak maksimal karena sedang ada pembangunan tapak industri dan pendukungnya merubah kountur diratakan demi tapak bangunan sehingga air larian permukaan berubah arah kemana-mana.
“Logika keilmuan rupa bumi, rangkaian kountur tanah membentuk secara alamiah alur aliran permukaan yang mengalir mengikuti dasar lembah berupa sungai permanen ataupun sungai musiman melintasi ribuan hektar lahan pertanian sebelum bermuara di laut, dan ini akibat rekayasa pengembang akan memberi dampak yang buruk,“ ujar Edy Toyibi Direktur Cagar.
“Apalagi sekarang holcim sudah pada tahapan kontruksi, jadi dampak itu mengiringi timbul,“ ujar Edy sambil menunjukan ANDAL Adendum dan akan di Adendum lagi.
“Lihatlah hal II-8 Adendum Andal 2010 , yang dibahas hanya masalah tenaga kerja, tidak membahas faktor dampak lingkungan, terhadap aktifitas pertanian masyarakat sekitar dari dua musim,“ tambah Edy.
“Padahal untuk membangun tapak industri beserta yang lain seperti raw mill, coal mill, tanur mill, finish mill dan silo serta yang lain, holcim butuh waktu 24 – 30 bulan, artinya ada 4- 5 musim siklus tanam petani, ini dibiarkan tak terukur sama sekali oleh Holcim,“ papar Edy dengan geleng-geleng kepala sambil tersenyum sisnis.
“Kami ini warga negara yang memperjuangkan kehidupan dan penghidupan keluarga, kami malah selalu dicurigai dan ditakut-takuti, bahkan pada suatu kesempatan terbuka oleh kepala daerah kami,“ ujar salah satu warga barat tapak industri yang tidak mau disebutkan namanya.
Dari pantauan sosialnews bersama Cagar selama proses konstruksi, belum nampak petugas BLH melakukan pengawas pemantauan dimana pada dokumen ANDAL, RPL, RKL dan regulasi mengamanatkan untuk dilaporkan pada BLH Jatim sebagai bahan evaluasi, “Ketidakpatuhan prosuderal ini indikator bahwa lingkungan dan mayarakat selalu dikorbankan,” pungkas Edy.
“Setelah 24 – 30 bulan masa kontruksi, petani sekitar pabrik holcim akan menghadapi berpuluh-puluh tahun permasalahan lingkungan yang tidak ringan,“ ujar Edy lelaki yang tak surut perjuangkan lingkungan. *(at)

Bukit Mliwang (Bag. 11)


Samuri (70 th) warga Desa Mliwang Kecamatan Kerek Tuban siang itu nampak sangat menikmati segarnya air sumur, (SNC – At)
TUBAN – Air adalah sumber kehidupan, pepatah, analogi, realitas dalam kehidupan, untuk semua mahluk hidup di muka bumi ini. Begitu pula dengan keberadaan sendang dan sumur gali yang terletak pada puncak dataran Bukit Mliwang, dalam bahasa ilmiahnya top hill, dimungkinkan kritis keberadaanya disebabkan adanya aktivitas pabrik semen Holcim di bawahnya.
Dari penelusuran sosialnews.com di lapangan terdapat 8 sumur, diantaranya Mur Sendang 1 dan 2, Mur Kaji, Mur Dono dan empat yang lain dinamai dengan nama orang yang memilki sumur di ladang. Letak sumur-sumur tersebut hampir berada satu garis membujur ke barat, dan satu sama lain tidak berjauhan.

Samuri (70 th) warga Desa Mliwang Kecamatan Kerek Tuban siang itu nampak sangat menikmati segarnya air sumur dengan berkali-kali membasahi tubuhnya, berbekal seutas tali dan timba dia ambil air di kedalaman sumur yang hanya sekitar 4 meter, padahal posisinya berada di atas bukit, orang sekitar menamakan Mur Sendang.
“Kalau dari ladang ya mandi di sini, Pak,“ kata Samuri.
“Meski kemarau tidak pernah habis airnya, tidak tahu kalau ada pabrik besok, Mas,“ ujar Samuri sambil terus mandi.
“Sejak pembuatan AMDAL semen Dwima Agung/Holcim pertama tahun 2008 sudah kami permasalahkan, karena dimungkinkan sendang/sumur-sumur tersebut akan mengalami penurunan permukaan, sehingga kering,“ papar Edy, Direktur Cagar di lokasi.
“Bukan tanpa alasan kami mempermasalahkan eksploitasi ekstraktif kawasan karst/kapur, yang akan berdampak pada tata aliran bawah permukaan, karena mempunyai daya simpan air yang luar biasa,“ tambah Edy Toyibi sambil menunjukkan indikator di lapangan.
“Sumur di atas Bukit Mliwang sebuah fenomena hidrologi karst yang unik, maka semestinya Holcim tidak memaksakan diri,“ kata Edy lugas.
Sementara itu PT Holcim ketika dikonfirmasi menampik kekhawatiran tersebut, bahwa PT Holcim tidak akan mengganggu keberadan sumur-sumur tersebut, “Seperti yang sudah kami sampaikan pada konfirmasi sebelumnya (4/2/2013 – red) ,” kata Indri Siswati, Project Communication PT Holcim.
“Apapun yang disampaikan Indri Siswati Project Comunication PT Holcim, saya nilai itu pembelaan yang bernuansa pembodohan publik, dengan berlindung pada lembaga yang disebut seperti anak kecil,” sanggah Edy. (SNC – At)

CAGAR Operasi Senyap

Tuban – Sepeninggal tokoh lingkungan mendiang Edy Toyibi, organisasi pecinta alam di Kabupaten Tuban makin.guyub rukun dan kompak. Semua elemen mulai aktif kembali dengan semangat lestari. Banyak agenda kegiatan yang harus dijadwalkan.

Terkait posisi pengganti almarhumah Edy Toyibi tidak menjadi agenda utama oleh pengurus cagar. Namun eksistensi lebih diprioritsakan. “Untuk
sementara kita operasi senyap dulu sambil penataan “cagar” hari ini dan untuk yang akan datang.” Beber imam bukori devisi konservasi dan kelautan “cagar”. jumat (1/7/2016) 

Menurutnya sejak pertengahan Juni 2016 rumah di Perum Bukit Karang Kota Tuban, rumah almarhumah jadi tempat berkumpul layaknya kesekretariatan para aktivis lingkungan dan pecinta alam Tuban. “Dari acara diskusi sampai buber yang dilakukan secara bergantian selama bulan Ramadhan.” ujar pria yang akrap di panggil Bokor.

Imam Bukhori ,mengakatakan ia bersyukur jika para kader mendiang Edy Toyibi bangkit kembali, harapnya kita tetap militan dan idialis, selalu komitmen seperti yang dijarkan kepada kita semua oleh almarhum .


Masih Imam Bukhori, “Kesekian banyaknya kerusakan lingkungan di Kabupaten Tuban akan bertambah parah jika kita berpangku tangan dan bila berorentasi pada uang karena atas pengalamanya menjadi aktivis lingkungan banyak yang menggoda,” kata Imam Bukhori senior Mahipal saat dijumpai sosialnews di acara buber.
Reporter : Atmada (At)