Tercerabutnya Nadi Budaya Bumi Mliwang

Nara Sumber:
Sudjarwoto Tjondronegoro
TUBAN, sosialnews.com – Peradaban manusia tidak bisa tidak tanpa jejak meninggalkan kearifan lokal, yang berkembang menjadi kebudayaan sebagai komponen penting, dari akar budaya masyarakat menjadikan symponi indah keanekaragaman bangsa Indonesia, khususnya penduduk pulau jawa. Sekarang tercerabut oleh budaya luar akibat penetrasi budaya, melalui berbagai kanal diantaranya Industrialisasi.
Wiwo wite…,lesmbodonge….,karwo pete….. (ubi jalar panjang batangnya……, ubi tales lebar daunya……, kendaraan gerobag panjang jejaknya), perumpamaan lama yang masih melekat pada masyarakat jawa hingga kini, bahwa semua yang ada itu tidak lepas dari asal-usul mengapa itu terjadi, oleh sebab itu mitos mempunyai makna yang cukup besar untuk perkembangan kepribadian bangsa yang berkelanjutan, sehingga dituntut kepada semua pihak tidak harus membutakan mata terhadap asal-muasalnya mengapa segala sesuatunya itu ada.
Tatkala masyarakat dan atau sekelompok kecil masyarakat mulai meninggalkan adat, adab, dan aqidah Akibat dari penetrasi kebudayaan universal yang kuat menerjang seluruh sendi kehidupan berbangsa dan beragama di Indonesia. Akan muncul prilaku aneh yang dipengaruhi oleh kristalisasi dampak sosial tersebut, manakala semua ini dilakukan pembiaran. Tanpa adanya perlindungan dan pengawetan nilai-nilai luhur budi pekerti endemik masyarakat lokal khususnya nasional bangsa pada umumnya.
Mari kita secara seksama telusuri makna kata berantai satu-persatu dari masing-masing genre tradisi cerita jawa di seputaran bukit mliwang :
  • Desa Mliwang terkandung makna, mili (mengalir) dan awing-awang (angkasa/langit),
  • Desa Merkawang terkandung makna, mekar (berkembang merekah) dan awang-awang (angkasa/langit),
  • Desa Glondonggede terkandung makna, gelise (percepatan) dan mondong (mengangkut), cepat dalam upaya menyelesaikan persoalan-persoalan hidup demi ketahanan dari ancaman pihak luar yang berkepentingan jahat,
  • Desa Sawir terkandung makna, sawah (pertanian basah) dan sumilir (subur) artinya desa sawir merupakan lahan pertanian yang baik hingga sekarang terutama di utara pemukiman,
  • Desa Dasin terkandung makna, padasane (tempat bersuci) dan mukmin (masyarakat beragama Islam) tinggalan peradaban itu ada sampai sekarang, dimana suasana beragama masih sangat kental di masyarakat,
  • Desa Klutuk terkandung makna, kluwehan (kelebihan) dan tuk (sumber air) ini ditandai dengan keberadaan Sendang Klutuk yang airnya melimpah ruwah,
  • Desa Sotang terkandung makna, sosote (kutukan) dan angkoro (perbuatan tidak menyenangkan), dipercaya bahwa masyarakat desa tersebut pada zaman dahulu, akan tidak selamat jika ada perbuatan angkara murka yang berdampak pada keselamatan masyarakat banyak,
  • Desa Gadon terkandung makna, gadang (menghambat) dan ontran-ontran (kegiatan yang merugikan masyarakat banyak),
  • Desa Pabeyan terkandung makna, pasebane (pertemuanya) dan iman (teguh/percaya pada keyakinan agama), artinya didesa tersebut kultur masyarakat dahulu sebagai tempat silaturahmi kaum alim dalam membicarakan kepentingan umat,
  • Desa Tambakboyo terkandung makanan, tambak (mencegah) dan boyo (bahaya) dengan arti luas Desa Tambakboyo masyarakatnya mempunyai ruh kental, mencegah bahaya atau menyelesaikan masalah yang sedang dan atau yang akan terjadi demi kemaslahatan umat.
Budaya pada pekerti luhur lokal yang beranjak dari keinginan harmonisasi antara hubungan mikro dan makro kosmos, diaktualisasikan dengan perlakuan pada sumberdaya alam yang diyakini memberi kemanfaatan masyarakat dan keturunanya seperti budaya prosesi adat pra dan paska tanam. Upacara adat pada tempat-tempat seperti mata air, hutan lindung dan lain-lain, sebagai konsep perlindungan bukan mengumbar nafsu menghabiskan/merusak, dan budaya ziarah makam bahkan sampai pada budaya Islami berbondong-bondong sukarela datangi pengajian-pengajian dan masih banyak contoh lain.
Dari pembacaan makna-makna pada masing-masing wilayah seharusnya mendapat petunjuk atau hidayah, untuk mempertahankan segala sesuatu yang akan menekan dengan keras menuju hancurnya kerusakan lingkungan dan berujung pada kehancuran budaya oleh roda kapital yang berorientasi keuntungan ekonomi prakmatisme. Sehingga masyarakat sekitar tidak mengambil peran dan mendiamkan semua ini.
Faktor terbesar dan tercepat pergeseran nilai-nilai luhur lokal, apabila di suatu kawasan ada kegiatan investasi dalam sekala besar dan memberi dampak aktifitas sosial ekonomi juga eksploitasi sumber daya alam secara massif, terbawa oleh eksodus pendatang dan perubahan struktur social, tercipta klaster masyarakat elit, juga akan tergali jurang lebar status sosial, seperti rencana berdirinya pabrik semen Holcim di bukit Mliwang, apabila tidak tertangani dengan baik dapat terjadi. Cita-cita bangsa yang terkandung dalam Proklamasi, UUD ‘45 dan Pancasila yang berakar dari kebudayaan daerah di seluruh Nusantara termasuk di Mliwang dan sekitarnya menjadi tercerabut dari akarnya.*(at)