Nasib Petani Galas Tuban

8-11 pak samari

TUBAN, sosialnews.com – Ibu pertiwi sebutan lain dari sebagaian wilayah permukaan bumi yang mampu melahirkan kehidupan dan keberlanjutan mahluk hidup. Seperti yang nampak pada sebagian kehidupan masyarakat di pingiran hutan jati Desa Kesamben Kecamatan Plumpang Kabupaten Tuban, menopang hidup di tanah Perhutani, menjadi Petani Galas (Tegal Alas).
Salah satu di antaranya adalah Pak Samari yang mengaku lahir tahun 1949 dan dikaruniahi anak lima yang sudah menikah semuanya juga kerja mengais rezeki di tanah perhutani jadi Petani Galas. Samari mengatakan tidak punya tanah sendiri secuilpun untuk menghidupi keluarganya hingga di usia senja kecuali menopang di tanah perhutani.
Disingung hasil panennya Pak Samari mengatakan dalam setahun panen sekali dan maksimal hasilnya 1juta/tahun, dengan lahan garapan setengah hektar di tanami kacang dan jagung. Sedangkan Mbok Tua Siti yang tinggal sekampung dengan Pak Samari, untuk menyambung hidupnya selain jadi petani galas dalam kesehariannya juga juga sebagai penjual kayu bakar. Ia harus menyusuri jalan setapak memasuki hutan belantara mencari kayu bakar untuk dijual guna menambah penghasilan, dalam hidupnya yang selalu dalam kekurangan.
Beda dengan Sugeng (35 th) termasuk juga dari warga desa yang sama, dia memiliki sebidang tanah sendiri selain bisa ditanami jagung dan kacang. Setiap hari Sugeng dapat penghasilan pokok dari pohon lontar. Sebab pohon tersebut sudah ditanam orang tua Sugeng di masa lalu yang sekarang bisa di panen, berupa tuak atau legen dan siwalan. Sedangkan masyarakat yang tinggal di daerah terpencil tersebut rata rata juga jadi Petani Galas milik Perhutani.
Terpuruk, terkulcil dan keterlantaran nasib para Petani Galas, R. Atmodjoyodiningrat deklarator LPM Tuban Institute, juga Direktur Inti Pena Group Saat dijumpai sosialnews.com, menorehkan artikel kehidupan dan sebuah plesetan puisi lagu Jamal Mirdad yang orbit th 80-an.
Lembayung senja di ufuk mulai bercahaya…..

Hatikupun ingin bertanya ……………………
Kepada sang raja …atau raja singa….
Datanglah oh datanglah…… dengan cinta.

Seuntai syair yang tersirat dari R. Atmodjoyodiningrat adalah sebuah puisi filosofi terrarosa terpotret pada bingkai Senja nan nampak temaram masih sisakan sinar dari sebagian sinar yang sarat akan sinar ultraviolet sebagai salah satu unsur penting dalam kehidupan mahluk hidup, pada proses biokimia fotosintesis yang berfungsi sebagai nutrisi penting, seperti derap langkah kokoh seorang mbok tua atau, pak tua di senja hari pulang membawa beban dipundak, berisikan patahan ranting dan dahan kayu bakar dari pinggiran sisa hutan kawasan batuan kapur dalam ikatan kain untuk bahan menanak nasi lalu tersajikan dalam bakul demi kelangsungan hidup keluarganya.
‘’Ibu pertiwi bukan ibu tiri,’’ bagi Mbok Siti atau Pak Samari juga keluarganya yang masih dapat bertahan hidup, sebuah fragmen kehidupan yang kadang luput dari kerling penglihatan para penguasa negeri ini kelakar Raden Atmodjoyodiningrat. * ( at )